Sabtu, 24 Mei 2008

=Jamu Kanker, Obat Kanker, Jamu Anti Kanker, Cancer Herbal, Herbal Cancer, Taman Obat Keluarga, Tanaman Obat Keluarga, Fitofarmaka, Biofarmaka,

Yayasan Anti Kanker Indonesia Bakti Sosial Pengobatan Alternatif

Yayasan Anti Kanker Indonesia ikut berpartisipasi dan Bakti Sosial Pengobatan Alternatif dalam Event " Pameran dan Gelar Budaya Nasioanl, Pada tanggal 10 s/d 24 Mei 2008 di Area Monumen Pahlawan Pancasila, dalam rangka " Semarak 100 tahun Kebangkitan Nasional 2008 "

---

http://www.dinsos.pemda-diy.go.id/index.php?option=content&task=view&id=223&Itemid=49

Peringati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Dinsos selenggarakan “Pameran dan Gelar Budaya”

07-05-2008
Yogyakarta - Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bekerjasama dengan ONE production menyelenggarakan kegiatan Pameran dan Gelar Budaya dalam rangka satu abad KEBANGKITAN NASIONAL 2008 yang akan berlangsung dari tanggal 10 Mei s.d. 24 Mei 2008 di Monumen Pahlawan Pancasila, Kentungan, Sleman, Yogyakarta.
Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 adalah momentum penting berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sampai saat ini kokoh dan terus berkembang. Pengabdian para Pahlawan seperti Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Ki Hajar Dewantoro, WR. Supratman dan pemimpin muda waktu itu dengan BOEDI OETOMO berbekal modal semangat dan kegigihannya membentuk dan menjadikan Indonesia merdeka.
Keberhasilan kaum muda saat ini tidak bisa lepas dari jasa para pejuang kebangkitan. Untuk memberi arti dan nilai luhur para pahlawanan, khususnya para para pejuang kebangkitan, Dinas Sosial Provinsi DIY akan menyelenggarakan Acara Pameran dan Gelar Budaya Semarak 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Kegiatan ini juga dimaksudkan sebagai wahana untuk menampilkan keberhasilan kaum muda saat ini. Adapun rangkaian acaranya meliputi :

1. Jalan Budaya Jalan, Sabtu (10/5) Pukul 08.00 WIB, mulai dari Lembah UGM menuju Monumen Pahlawan Pancasila

2. Pit Pit Bangkit, Sabtu (10/5) Pukul 08.00 WIB, mulai dari Bunderan UGM ke arah
Tugu, menuju Monumen Pahlawan.

3. Pameran Lukisan Putro Mataram

4. Pameran Multi Produk

5. Wahana Permainan Anak

6. Air Soft Gun

7. Lomba Lukis TK – SD

8. Lomba Karaoke SD – SMP

9. Festifal Band SMP – SMA

10. Wayang Orang Anak dan Gelar Budaya Lain Panggung Hiburan

11. Bakti Sosial (Pengobatan Alternatif, Donor Darah, Pelayanan SIM, dll)

Dengan merangkul berbagai elemen masa untuk ditampilkan dalam seluruh kegiatan mencerminkan begitu banyak potensi para pengisi kemerdekaan kini, seperti yang telah diperjuangkan para pahlawan yang tak kenal lelah. Jiwa dan semangat tidak kenal lelah inilah yang akan ditonjolkan dalam kegiatan ini. Keanekaragaman acara mencerminkan kreativitas kaum muda masa kini. Dari keberagaman inilah yang membentuk jiwa persatuan dan kesatuan yang merupakan modal penting untuk kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Dari kegiatan ini diharapkan muncul tokoh-tokoh baru dari Jogja untuk Indonesia.

=Yayasan Anti Kanker Indonesia Bakti Sosial

Yayasan Anti Kanker Indonesia Bakti Sosial Pengobatan Alternatif

Yayasan Anti Kanker Indonesia ikut berpartisipasi dan Bakti Sosial Pengobatan Alternatif dalam Event " Pameran dan Gelar Budaya Nasioanl, Pada tanggal 10 s/d 24 Mei 2008 di Area Monumen Pahlawan Pancasila, dalam rangka " Semarak 100 tahun Kebangkitan Nasional 2008 "

---

http://www.dinsos.pemda-diy.go.id/index.php?option=content&task=view&id=223&Itemid=49

Peringati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Dinsos selenggarakan “Pameran dan Gelar Budaya”

07-05-2008
Yogyakarta - Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bekerjasama dengan ONE production menyelenggarakan kegiatan Pameran dan Gelar Budaya dalam rangka satu abad KEBANGKITAN NASIONAL 2008 yang akan berlangsung dari tanggal 10 Mei s.d. 24 Mei 2008 di Monumen Pahlawan Pancasila, Kentungan, Sleman, Yogyakarta.
Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 adalah momentum penting berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sampai saat ini kokoh dan terus berkembang. Pengabdian para Pahlawan seperti Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Ki Hajar Dewantoro, WR. Supratman dan pemimpin muda waktu itu dengan BOEDI OETOMO berbekal modal semangat dan kegigihannya membentuk dan menjadikan Indonesia merdeka.
Keberhasilan kaum muda saat ini tidak bisa lepas dari jasa para pejuang kebangkitan. Untuk memberi arti dan nilai luhur para pahlawanan, khususnya para para pejuang kebangkitan, Dinas Sosial Provinsi DIY akan menyelenggarakan Acara Pameran dan Gelar Budaya Semarak 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Kegiatan ini juga dimaksudkan sebagai wahana untuk menampilkan keberhasilan kaum muda saat ini. Adapun rangkaian acaranya meliputi :

1. Jalan Budaya Jalan, Sabtu (10/5) Pukul 08.00 WIB, mulai dari Lembah UGM menuju Monumen Pahlawan Pancasila

2. Pit Pit Bangkit, Sabtu (10/5) Pukul 08.00 WIB, mulai dari Bunderan UGM ke arah
Tugu, menuju Monumen Pahlawan.

3. Pameran Lukisan Putro Mataram

4. Pameran Multi Produk

5. Wahana Permainan Anak

6. Air Soft Gun

7. Lomba Lukis TK – SD

8. Lomba Karaoke SD – SMP

9. Festifal Band SMP – SMA

10. Wayang Orang Anak dan Gelar Budaya Lain Panggung Hiburan

11. Bakti Sosial (Pengobatan Alternatif, Donor Darah, Pelayanan SIM, dll)

Dengan merangkul berbagai elemen masa untuk ditampilkan dalam seluruh kegiatan mencerminkan begitu banyak potensi para pengisi kemerdekaan kini, seperti yang telah diperjuangkan para pahlawan yang tak kenal lelah. Jiwa dan semangat tidak kenal lelah inilah yang akan ditonjolkan dalam kegiatan ini. Keanekaragaman acara mencerminkan kreativitas kaum muda masa kini. Dari keberagaman inilah yang membentuk jiwa persatuan dan kesatuan yang merupakan modal penting untuk kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Dari kegiatan ini diharapkan muncul tokoh-tokoh baru dari Jogja untuk Indonesia.

Senin, 07 April 2008

===Daerah istimewa yogyakarta,hukum - google

http://www.google.co.id/search?hl=id&q=daerah+istimewa+yogyakarta%2C+hukum&btnG=Telusuri&meta=

===Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Daerah_Istimewa_Yogyakarta

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari
Lambang Prov Daerah Istimewa Yogyakarta
Lambang Prov Daerah Istimewa Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Negara Republik Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari jaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh The Founding Fathers Bangsa Indonesia yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara[1].
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Periode I: 1945 - 1946

o 1.1 Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945)
o 1.2 Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)
o 1.3 Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945)
o 1.4 Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946)
o 1.5 Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946)
o 1.6 Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)
* 2 Periode II:1946 - 1950
o 2.1 Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946)
o 2.2 Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)
o 2.3 Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)
o 2.4 UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)
* 3 Periode III: 1950 - 1965
o 3.1 Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)
+ 3.1.1 Pembentukan DIY (1950)
+ 3.1.2 Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)
o 3.2 Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an)
+ 3.2.1 Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)
+ 3.2.2 Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan

Pemda DIY(1950an)
o 3.3 Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)
+ 3.3.1 Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)
+ 3.3.2 Penyatuan Wilayah (1957-1958)
+ 3.3.3 Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)
* 4 Periode IV: 1965-1998
o 4.1 Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)
o 4.2 Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)
o 4.3 Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)
* 5 Periode V: 1998-sekarang (2007)
o 5.1 Penyelenggaraan Pemerintahan DIY Pada Masa Peralihan

(1998-sekarang[2007])
+ 5.1.1 Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998)
+ 5.1.2 Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004)
+ 5.1.3 Pengusulan RUU Keistimewaan (2002)
+ 5.1.4 Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003)
+ 5.1.5 Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2007])
o 5.2 Peristiwa-Peristiwa Terakhir Yang Bersejarah (2007)
+ 5.2.1 Pernyataan Pengunduran Diri Sultan HB X
+ 5.2.2 Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY
+ 5.2.3 Usaha Penyusunan UU Keistimewaan DIY
* 6 Daftar Bacaan
o 6.1 Buku
o 6.2 Peraturan Perundang-undangan
o 6.3 Surat Kabar Harian
* 7 Rujukan

[sunting] Periode I: 1945 - 1946

[sunting] Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945)

Tanggal 18[2][3] atau 19[4] Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya[2]. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi[4].


[sunting] Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)


Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti[1]. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci[5]. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.


Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman[4].Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan[6].

[sunting] Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945)

Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi[2], barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama[6].


Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.

[sunting] Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946)
Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945
Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945

Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi[4]:

1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.

Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi[4]:

1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.

Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja[6]. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.

[sunting] Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946)

Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta[4][6]. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta[6].

Seiring dengan berjalannya waktu[6][2], berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).

[sunting] Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)

Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah[2]:

1. Kedudukan Yogyakarta
2. Kekuasaan Pemerintahan
3. Kedudukan kedua raja
4. Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan)
5. Pemilihan Parlemen
6. Keuangan
7. Dewan Pertimbangan
8. Perubahan
9. Aturan Peralihan
10. Aturan Tambahan

[sunting] Periode II:1946 - 1950

[sunting] Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946)
Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946
Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946

Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18 )[6][2]. Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946[2]. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut[6].

Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman)[6]. Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki[6][2]yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan[2].

[sunting] Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)

Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkapMaklumat Yogyakarta No. 18 ).

Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.

[sunting] Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)
Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947
Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947

Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak 5 Januari 1946 Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX[6]. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Walikota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I[2].

[sunting] UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)

Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum[7][8] maupun penjelasannya[9][10]. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda[2]. Pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950[2].

[sunting] Periode III: 1950 - 1965

[sunting] Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)

Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.

[sunting] Pembentukan DIY (1950)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1950
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1950


DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Propinsi[11]. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional[12].


Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)

Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951

Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). taMenurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota Bantul), Sleman (beribukota Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota Wates), dan Kota Besar Yogyakar. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.

Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an)

[sunting] Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)

Pada tahun 1951, diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPRD. Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya[2]. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP[2]. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.

[sunting] Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY(1950an)

Perubahan yang cukup penting[12], pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota[12]. Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem)[2]. Sementara wilayah Mancanegara, yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah: Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia[12].

Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K A N merupakan monarki konstitusi[12].

Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi[2]. Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.


Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)

Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)

Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUD Sementara 1950. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum[13][14] maupun penjelasannya[15]. Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan sebelumnya (UU 22/1948)[16]. Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai 'metamorfosis' abdidalem kepatihan yang sejak semula menjadi tulang punggung birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang memiliki dukungan DPRD DIY yang sedang dikuasai oleh PKI yang menghendaki hapusnya pamong praja[2].


Penyatuan Wilayah (1957-1958)

Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957


Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen dilepaskan dari Prov Jateng dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah DIY dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 (LN 1957 No. 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (LN 1958 No. 33, TLN 1562).


Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)

Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda[17]. Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional, praktis kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.


Periode IV: 1965-1998

Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)

Tanggal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi [18] (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan[19]. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat[20]. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta di kemudian hari [21]. Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.


Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)

Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Otomatis beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan tentang status Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan[22]. Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi Abdi Dalem Keprajan (lihat periode I dan III di atas).


Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Melihat keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini tertuang dalam Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980[4].


Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)
Sultan HB IX Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur I Prov. DIY
Sultan HB IX Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur I Prov. DIY


Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa[23].

Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (former president) Presiden Soeharto, Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung[23]. Beberapa bulan setelahnya beliau menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).


Periode V: 1998-sekarang (2007)


Penyelenggaraan Pemerintahan DIY Pada Masa Peralihan (1998-sekarang[2007])


Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998)

Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003[23].

Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.


Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004)

Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY[24]. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya . [25].


Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang[26].


Pengusulan RUU Keistimewaan (2002)

Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002[27]. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah[27]. Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).



Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003)

Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.


Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2007])


Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus[28][29][30] seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua[31]. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya[27].



Peristiwa-Peristiwa Terakhir Yang Bersejarah (2007)

Pernyataan Pengunduran Diri Sultan HB X

Prov. DIY tahun 2007 beserta Kab/Kota di lingkungannya
Prov. DIY tahun 2007 beserta Kab/Kota di lingkungannya

Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 April 2007, Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah[32]lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008[33].

Pernyataan Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sofian Effendi[34] (rektor UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak perlu ikut kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton harus harus di atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran daerah. Sedangkan keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di Malaysia atau sistem monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo Santoso[34] pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan tidak menyalahi keistimewaan.


Bagi Roy Suryo[35] pakar telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X merupakan “sabdo pandhito ratu” dan memerlukan penelaahan lebih lanjut. Roy berharap keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry Zudianto[36] (Walikota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari sistem pemerintahan.

Warga Bantul[37] siap menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang pernyataan Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap bersedia memimpin. Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia juga akan menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan[36].

Akhirnya pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta[38].


Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas[39] pada 13 April 2007 menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta. Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung[40].


Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas[41] pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%).


Usaha Penyusunan UU Keistimewaan DIY



Artikel atau sebagian dari artikel ini terkait dengan suatu peristiwa terkini.
Informasi di halaman ini bisa berubah setiap saat.

Sementara itu Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia PAH I membentuk Tim Kerja yang diketuai oleh Subardi (anggota DPD mewakili prov DIY) untuk menjaring aspirasi mengenai keistimewaan[42]. Sementara itu Depdagri mempercayakan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) FISIPOL UGM untuk menyusun RUU Keistimewaan (RUUK) yang telah memaparkan hasilnya di depan DPRD DIY pada 14 Juni 2007[43]. Akhirnya pada 2 Juli 2007[44] diadakan uji sahih RUUK. Sebagai narasumber dalam ujisahih tersebut adalah wakil Kraton GBPH Joyokusumo[45], tim RUU JIP Bambang Purwoko, Dosen FH UGM Aminoto dan Ketua Tim Perumus Naskah Akademik dan PAH I DPD RI Jawahir Thontowi. Dalam uji sahih terungkap bahwa pihak keraton tidak menginginkan adanya sebuah lembaga baru, cukup dua lembaga: Keraton beserta Puro di satu kelompok dan Pemda di kelompok satunya.


Depdagri menyatakan RUU Keistimewaan DIY sudah selesai tinggal diserahkan ke DPR RI. Targetnya sebelum Pilkada DIY, RUU itu sudah menjadi UU[46]. Dan DPD RI pun mengesahkan Amandemen UU 3/1950 untuk selanjutnya diserahkan kepada DPR RI[47]. Akhirnya Sultan HB X pun berharap seluruh draft tersebut segera masuk ke DPR RI untuk dibahas dan segera diselesaikan. Mendagri Mardiyanto sendiri, menurut Sultan HB X, berharap sebelum akhir 2007 draft RUUK DIY sudah masuk ke DPR RI[48].


Daftar Bacaan


Buku

1. (1999) in A. Ariobimo Nusantara: Sri Sultan Hamengku Buwono X: meneguhkan tahta untuk rakyat. Jakarta: Grasindo. ISBN 979-669-570-7.
2. P.J. Suwarno (1994). Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-497-123-5.
3. (1993) in Saafroedin Bahar et. al.: Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: Sekretariat Negara RI. ISBN 979-8300-00-9.
4. Soedarisman Poerwokoeoemo (1984). Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.



Peraturan Perundang-undangan

1. UUD 1945 pertama (sebelum perubahan) dan UUD 1945 kedua (setelah perubahan)
2. Peraturan Perundang-undangan tentang Pembentukan DIY Beserta Kabupaten dan Kota dalam Lingkungannya (UU 3/1950; UU 15/1950; UU 16/1950; UU 19/1950; PP 31/1950; PP 32/1950; UU 18/1951; UU Drt 5/1957; UU 14/1958).
3. Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1948; UU 1/1957; PenPres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974; UU 22/1999; dan UU 32/2004).



Surat Kabar Harian

1. Achiel Suyanto. (2007) "Keistimewaan DIY dalam Tinjauan Sosio-Yuridis" Kedaulatan Rakyat (19 April 2007).
2. HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007 [Sultan HB X Soal Kepemimpinan; Jangan Ada Dualisme di DIY]
3. HB X (2007) "Berbaktibagi Ibu Pertiwi". Kedaulatan Rakyat (9 April 2007).
4. Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007 [Kesitimewaan Tidak di UU 3/50 ; DIY Bukan Monarkhi Konstitusi].
5. Joyokusumo (2007) "Kraton, Otonomi Daerah dan Good Governance di DIY (tulisan bersambung)" Kedaulatan Rakyat(23,24,26 Februari 2007).


1. Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007 [Kesitimewaan Tidak di UU 3/50 ; DIY Bukan Monarkhi Konstitusi].
2. Kedaulatan Rakyat 05 Juni 2007 [Draft RUUK DIY Tak Minta Status Keistimewaan; Joyokusumo Tolak Konsep JIP].
3. Kedaulatan Rakyat 09 April 2007 [Rakyat Bantul Siap Gelar ‘Pisowanan Agung’].
4. Kedaulatan Rakyat 19 April 2007 [Jika Untuk Jabatan Lebih Tinggi Rakyat Dukung Langkah Sultan].
5. Kedaulatan Rakyat 20 September 2007 [Hari Ini DPD Sahkan RUUK DIY ; Gubernur/Wagub DIY Dipilih Langsung].
6. Kedaulatan Rakyat 22 September 2007 [Banyaknya Draft RUUK DIY; Memperkaya Materi Pembahasan].
7. Kedaulatan Rakyat 31 Agustus 2007 [Sekjen Depdagri Pastikan : Pilkada DIY 2008 Gunakan UUK].
8. Kompas 09 April 2007 [Posisi Sultan Harus di Atas Gubernur].
9. Kompas 19 April 2007 [Sultan Akan Ke Kancah Nasional : penolakan jadi gubernur lagi merupakan hasil pergulatan panjang].
10. Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 09 April 2007A [Pernyataan Sultan, Sentilan bagi Masyarakat].
11. Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 09 April 2007B [Ulang Tahun Ngarso Dalem yang Sarat Makna].
12. Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 09 April 2007C [“Saya Merasa Terharu dan Bangga”].
13. Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 10 April 2007 [DPD akan menjaring aspirasi ke masyarakat].
14. Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 19 April 2007 [Indikator Kompas: Lebih Setuju Gubernur Dijabat Kalangan Keraton].
15. Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 20 April 2007 [Indikator Kompas: Fakta Sejarah Boboti Keistimewaan DIY].



Rujukan

1. ^ a b Saafrudin Bahar et. al. (ed), 1993

2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q PJ Suwarno, 1994

3. ^ Achiel Suyanto, 2007

4. ^ a b c d e f g Joyokusumo, 2007

5. ^ Pasal 18 UUD Indonesia yang pertama yang disahkan sehari sebelumnya berbunyi:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”

6. ^ a b c d e f g h i j k Soedarisman P, 1984

7. ^ Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. (Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)

8. ^ (5) Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. (6) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)

9. ^ Tentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya. Juga yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah, jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Provinsi biasa. (Petikan Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)

10. ^ Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan Zelfbestuurende landschappen. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula dan cara pemerintahannyapun diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. (Petikan Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)

11. ^ (1) Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2) Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. (Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)

12. ^ a b c d e Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007

13. ^ Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang. (Pasal 3 UU No 1/1957)

14. ^ (1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I. (2) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat calon yang diajukan oleh DPRD, seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1). (3) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Petikan Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) UU no 1/1957)

15. ^ Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan: b. mengenai gaji dan segala emolumenten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (Petikan Penjelasan Umum Ad 4 UU No 1/1957)

16. ^ Propinsi/Daerah Istimewa setingkat Propinsi dan Kabupaten/Daerah Istimewa setingkat Kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU RI No 22 tahun 1948 tidak perlu dibentuk lagi sebagai Daerah Swatantra akan tetapi sejak berlakunya UU ini berturut-turut menjadi Daerah Tingkat ke I/Daerah Istimewa Tingkat I dan Daerah Tingkat ke II/Daerah Istimewa Tingkat II termaksud dalam UU ini. (Petikan Pasal 73 ayat (1) UU No 1/1957)

17. ^ (1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (2) Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. (Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959)

18. ^ Pada saat berlakunya UU ini, maka: Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah “Provinsi” termaksud dalam pasal 2 ayat (1) sub a UU ini. (Pasal 88 ayat (1) sub a UU No 18/1965)

19. ^ Daerah-daerah swapraja yang de facto maupun de jure dinyatakan hapus. (Petikan Pasal 88 ayat (3) UU No 18/1965)

20. ^ Sifat istimewa suatu daerah berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5). (Petikan Pasal 88 ayat (2) sub a dan b UU No 18/1965)

21. ^ Daerah yang bersifat istimewa disebut Daerah Istimewa. Karena itu, maka sebutan Daerah Yogyakarta dan sebutan Daerah Istimewa Aceh berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah. Pada saatnya diharap bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus. (Petikan Penjelasan pasal 1 dan 2 UU No 18/1965)

22. ^ Pada saat berlakunya UU ini: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. (Pasal 91 sub b UU No 5/1974)

23. ^ a b c Ariobimo Nusantara (ed), 1999

24. ^ Pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai UU ini. (Petikan Penjelasan Pasal 122 UU No 22/1999)

25. ^ Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan atas UU ini. (Pasal 122 UU No 22/1999)

26. ^ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945[kedua/setelah perubahan 1-4])

27. ^ a b c HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007

28. ^ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)

29. ^ Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)

30. ^ (1) Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarata sepanjang tidak diataur secara khusus dalam UU tersendiri. (2) Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini. (Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004)

31. ^ Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. (Penjelasan pasal 226 ayat (1) UU No 32/2004)

32. ^ Pernyataan bersejarah Sultan: "Selanjutnya setelah saya pertimbangkan secara mendalam dengan laku spiritual memohon petunjuk-Nya, maka saya harus mengambil ketegasan Sikap Spiritual Kultural yang saya tuangkan dalam sebuah Pernyataan Sejarah, sebagai berikut: 1. Dengan tulus ikhlas saya menyatakan tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Provinsi DIY pada purna masa jabatan tahun 2003-2008 nanti. 2. Selanjutnya saya titipkan masyarakat DIY kepada Gubernur/Kepala Daerah Provinsi DIY yang akan datang." (Kompas Yogyakarta 9 April 2007)

33. ^ HB X, 2007

34. ^ a b Kompas 09 April 2007

35. ^ Kompas Yogyakarta 09 April 2007A

36. ^ a b Kompas Yogyakarta 09 April 2007C

37. ^ Kedaulatan Rakyat 09 April 2007

38. ^ Kompas Yogyakarta 19 April 2007

39. ^ Kompas Yogyakarta 19 April 2007

40. ^ Kedaulatan Rakyat 19 April 2007

41. ^ Kompas Yogyakarta 20 April 2007

42. ^ Kompas Yogyakarta 10 April 2007

43. ^ Kedaulatan Rakyat 15 Juni 2007

44. ^ Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007

45. ^ Joyokusumo atau selengkapnya Gusti Bendoro Pangeran Hario Joyokusumo yang lebih sering disapa Gusti Joyo adalah salah seorang Rayi Dalem (Adik Raja). Beliau adalah Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pejabat Tinggi di Lembaga Tinggi Keraton Yogyakarta (lihat pemisahan Istana dan Negara di atas). Selain itu beliau adalah anggota DPR RI (masa bakti 1999-2004 dan 2004-2009) mewakili DIY dan berasal dari Partai Golkar.

46. ^ Kedaulatan Rakyat 31 Agustus 2007

47. ^ Kedaulatan Rakyat 20 September 2007

48. ^ Kedaulatan Rakyat 22 September 2007


[sembunyikan]
l • d • s
{{{title}}}
Sumatra Nanggroe Aceh Darussalam · Sumatera Utara · Sumatera Barat · Bengkulu · Riau · Kepulauan Riau · Jambi · Sumatera Selatan · Lampung · Kepulauan Bangka Belitung
Jawa Jakarta · Jawa Barat · Banten · Jawa Tengah · Daerah Istimewa Yogyakarta · Jawa Timur
Kalimantan Kalimantan Barat · Kalimantan Tengah · Kalimantan Selatan · Kalimantan Timur
Nusa Tenggara Bali · Nusa Tenggara Barat · Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Sulawesi Barat · Sulawesi Utara · Sulawesi Tengah · Sulawesi Selatan · Sulawesi Tenggara · Gorontalo
Maluku dan Papua Maluku · Maluku Utara · Papua Barat · Papua
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Daerah_Istimewa_Yogyakarta"
Kategori: Peristiwa terkini | Yogyakarta
Tampilan

* Artikel
* Pembicaraan
* Sunting
* ↑
* Versi terdahulu

Peralatan pribadi

* Masuk log / buat akun

Navigasi

* Halaman Utama
* Portal komunitas
* Peristiwa terkini
* Perubahan terbaru
* Halaman sembarang
* Bantuan
* Menyumbang
* Warung Kopi

Pencarian

Kotak peralatan

* Pranala balik
* Perubahan terkait
* Pemuatan
* Halaman istimewa
* Versi cetak
* Pranala permanen
* Kutip artikel ini

Powered by MediaWiki
Wikimedia Foundation

Kamis, 03 Januari 2008

Undang–undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta - Google

http://www.google.co.id/search?client=firefox-a&rls=org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&channel=s&hl=id&q=Undang%E2%80%93undang+Nomor+3+Tahun+1950+tentang+Pembentukan+Daerah+Istimewa+Yogyakarta&meta=&btnG=Telusuri+dengan+Google

Undang–undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta - google

Daerah Istimewa Yogyakarta

http://id.wikipedia.org/wiki/Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (atau Yogyakarta) dan seringkali disingkat DIY adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utara. Secara geografis Yogyakarta terletak di pulau Jawa bagian Tengah. Daerah tersebut terkena bencana gempa pada tanggal 27 Mei 2006 yang mengakibatkan 1,2 juta orang tidak memiliki rumah.

Propinsi DI. Yogyakarta memiliki lembaga pengawasan pelayanan umum bernama Ombudsman Daerah Yogyakarta yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur DIY. Sri Sultan HB X pada tahun 2004.

Daftar isi

[sembunyikan]

Sejarah

Yogyakarta sebelum tahun 1945 dengan enklave-enklave Surakarta dan Mangkunagaran
Yogyakarta sebelum tahun 1945 dengan enklave-enklave Surakarta dan Mangkunagaran

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta.

Sejarah Awal Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Keistimewaan dan Pemerintahan Prop. DIY

Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indische setelah kekalahan Jepang.

Pada saat itu kekuasaan Kasultanan Yogyakarta meliputi:

  1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
  2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
  3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
  4. Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
  5. Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.

Sedangkan kekuasaan Praja Paku Alaman meliputi:

  1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
  2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.

Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit bersama dan memulai persatuan dua kerajaan.

Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Perkembangan monarki persatuan mengalami pasang dan surut. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Penggunaan nama tersebut ada di dalam Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18 ). Pemerintahan monarki persatuan tetap berlangsung sampai dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman adalah bagian integral Negara Indonesia.

"(1) Daerah jang meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta. (2) Daerah Istimewa Jogjakarta adalah setingkat dengan Propinsi."(Pasal 1 UU No 3 Tahun 1950)

Referensi bagian ini

  1. Soedarisman Poerwokoesoemo (1984) Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogykarta: Gadjah Mada Press University
  2. GBPH Joyokusumo: Kraton, Otonomi Daerah dan Good Governance di DIY, SKH KR tgl 23, 24, 26 Februari 2007Pembagian administratif

Pembagian administratif


Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas 4 kabupaten dan 1 kota. Ibu kotanya adalah Yogyakarta. Berikut adalah daftar kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, beserta ibukota kabupaten.

Kabupaten Ibukota Kabupaten
Bantul Bantul
Gunung Kidul Wonosari
Kulon Progo Wates
Sleman Sleman

Kota
Yogyakarta


Perekonomian

Sebagian besar perekonomian di Yogyakarta disokong oleh hasil cocok tanam, berdagang, kerajinan (kerajinan perak, kerajinan wayang kulit, dan kerajinan anyaman), dan wisata. Namun ada juga sebagian warga yang hidup dari ekspansi dunia pendidikan seperti rumah kost buat mahasiswa. Merupakan pemandangan yang biasa ketika anda sampai di Stasiun Yogyakarta atau di halte khusus tempat perhentian bus-bus pariwisata, anda akan disambut oleh banyak tukang becak. Mereka akan mengantarkan anda ke tempat tujuan mana saja yang layak untuk anda nikmati seperti toko baju, toko bakpia, mal, atau sekadar membeli cinderamata. Anda pun akan heran setelah tukang becak itu mengajak anda berkeliling kota seharian, mereka hanya akan meminta bayaran yang rendah. Mengapa bisa demikian? Ternyata mereka juga sudah mendapat bagian dari mengantarkan anda ke toko-toko tadi.

Pemerintahan

Umum

Dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Dasar filosofi yang lain adalah Hamangku-Hamengku-Hamengkoni, Tahta Untuk Rakyat, dan Tahta untuk Kesejahteraan Sosial-kultural.

Landasan Yuridis Konstitusional

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 3) dan UU Nomor 19 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 48) yang diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP Nomor 31 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 58).

UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai isi yang sangat singkat dengan 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi. UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan.

UU Nomor 19 Tahun 1950 sendiri adalah revisi dari UU Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten -kabupaten dan kota yang berotonomi dan diatur dengan UU Nomor 15 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 44) dan UU Nomor 16 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP Nomor 32 Tahun 1950 ( Berita Negara Tahun 1950 Nomor 59) yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten:

  1. Bantul beribukota di Bantul
  2. Sleman beribukota di Sleman
  3. Gunung kidul beribukota di Wonosari
  4. Kulon Progo beribukota di Sentolo
  5. Adikarto beribukota di Wates
  6. Kota Besar Yogyakarta

Dengan alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota di Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota di Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU No 22 Tahun 1948).

Selanjutnya, demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen dilepaskan dari Propinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut.

Penyatuan enclave-enclave ini berdasarkan UU Darurat Nomor 5 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU Nomor 14 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1562).

Pendidikan

Kota Yogyakarta selain dijuluki sebagai Kota Gudeg, juga dijuluki Kota Pelajar. Di kota ini terdapat universitas negeri tertua di Indonesia, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan juga berbagai universitas swasta terkenal lainnya seperti UPN "Veteran", AMIKOM, Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan (STTKD), STIE SBI, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Universitas Islam Indonesia (UII) yang merupakan universitas swasta tertua di Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Sanata Dharma (USD), Universitas Atmajaya yogyakarta (UAJY) dan lain sebagainya, selain Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI Yogyakarta) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Bisa dikatakan bahwa di kota ini sebagian besar penduduknya relatif memiliki pendidikan sampai tingkat SMU.

Transportasi

Stasiun kereta api Yogyakarta.
Stasiun kereta api Yogyakarta.

Transportasi yang ada di Yogyakarta terdiri dari transportasi darat (bus umum, taksi, kereta api, andhong (kereta berkuda), dan becak) dan udara (pesawat terbang). Jalan-jalan di Yogyakarta kini sudah lebih rapi dan bersih dibandingkan tahun-tahun terdahulu karena komitmen pemerintah daerah Yogyakarta untuk menjadikan Yogyakarta sebagai kota pariwisata (terbukti dengan dibuatnya TV raksasa di salah satu jalan raya Yogyakarta untuk berpromosi dan papan stasiun kereta api). Walaupun demikian, jalan-jalan di Yogyakarta juga tergolong sering mengalami kemacetan. Pemerintah kota tengah berencana membangun sistem transportasi kota yang lebih nyaman yaitu bus patas (semacam busway) yang diharapkan akan selesai proyeknya beberapa tahun lagi. Saat ini sudah mulai dibangun halte sebagai pilot project proyek ini.

Budaya

Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya Jawanya. Seni dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sejak masih kanak-kanak sampai dewasa, masyarakat Yogyakarta akan sangat sering menyaksikan dan bahkan, mengikuti berbagai acara kesenian dan budaya di kota ini. Bagi masyarakat Yogyakarta, di mana setiap tahapan kehidupan mempunyai arti tersendiri, tradisi adalah sebuah hal yang penting dan masih dilaksanakan sampai saat ini. Tradisi juga pasti tidak lepas dari kesenian yang disajikan dalam upacara-upacara tradisi tersebut. Kesenian yang dimiliki masyarakat Yogyakarta sangatlah beragam. Dan kesenian-kesenian yang beraneka ragam tersebut terangkai indah dalam sebuah upacara adat. Sehingga bagi masyarakat Yogyakarta, seni dan budaya benar-benar menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kesenian khas di Yogyakarta antara lain adalah kethoprak, jathilan, dan wayang kulit.

Tempat Wisata Menarik

Objek wisata yang menarik di Yogyakarta: Malioboro, Istana Air Taman Sari, Monumen Jogja Kembali, Museum Keraton Yogyakarta, Museum Sonobudoyo, Lereng Merapi, Kaliurang, Pantai Parangtritis, Pantai Baron, Pantai Samas, Goa Selarong, Candi Prambanan, Candi Kalasan, dan Kraton Ratu Boko. Yogyakarta terkenal dengan makanan yang enak, murah, bergizi sekaligus membuat kangen orang-orang yang pernah singgah atau berdomisili di kota ini. Ada angkringan dengan menu khas mahasiswa, ada bakmi godhog di Pojok Beteng, sate kelinci di Kaliurang plus jadah Mbah Carik, sate karang Kotagedhe, sego abang Njirak Gunung Kidul dan masih banyak tempat wisata kuliner yang lain.

Di wilayah selatan kota Yogyakarta, tepatnya di daerah Wonokromo, terdapat Sate Klathak.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950

http://id.wikisource.org/wiki/Peraturan_Pemerintah_Nomor_31_Tahun_1950

Naskah Peraturan Pemerintah

PERATURAN PEMERINTAH No. 31 TAHUN 1950

TENTANG
BERLAKUNJA:

1. UNDANG-UNDANG No. 2 TAHUN 1950 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI DJAWA TIMUR;

2. UNDANG-UNDANG No. 3 TAHUN 1950 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA;

3. UNDANG-UNDANG No. 10 TAHUN 1950 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI DJAWA TENGAH;

4. UNDANG-UNDANG No. 11 TAHUN 1950 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI DJAWA BARAT.


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:

bahwa telah tiba saatnja untuk menentukan hari mulai berlakunja:

1. Undang-undang No. 2 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Djawa Timur;

2. Undang-undang No. 3 tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta;

3. Undang-undang No. 10 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Djawa Tengah;

4. Undang-undang No. 11 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Djawa Barat.


Mengingat:

pasal 5 ajat (2), Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Undang-undang No. 22 tahun 1948 (pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1950) [sic!] pasal 7 Undang-undang No. 2 tahun 1950, pasal [7] Undang-undang No. 3 tahun 1950, pasal 7 Undang-undang No. 10 tahun 1950, pasal 7 Undang-undang No. 11 tahun 1950.


M E M U T U S K A N :

Menetapkan Peraturan sebagai berikut:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BERLAKUNJA:

UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 1950;

UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 1950;

UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 1950 DAN

UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 1950.


PASAL 1.

Undang-undang No. 2 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Djawa Timur, Undang-undang No. 3 tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta, Undang-undang No. 10 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Djawa Tengah dan Undang-undang No. 11 tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Djawa Barat mulai berlaku pada tanggal 15 Agustus tahun 1950.

PASAL 2.

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 15 Agustus 1950.


Agar peraturan ini diketahui oleh umum, maka diperintahkan supaja diundangkan dalam Berita Negara.


Ditetapkan di Jogjakarta

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA [ sic! ]

pada tanggal 14 Agustus 1950. [ sic! ]

(PEMANGKU DJABATAN),

ASSAAT.


MENTERI DALAM NEGERI,

SOESANTO TIRTOPRODJO.


Diundangkan pada tanggal 14 Agusutus 1950.

MENTERI KEHAKIMAN,

A.G. PRINGGODIGDO.


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1950 NOMOR 58

Referensi

Kumpulan Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Koleksi Badan Perpustakaan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 PEMBENTUKAN DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950


TENTANG

PEMBENTUKAN DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

Menimbang:

bahwa perlu lekas dibentuk Daerah Istimewa Jogjakarta, jang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganja sendiri, sebagai termaksud dalam Undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang pemerintahan daerah;

Mengingat:

pasal 5 ajat (1), pasal 20 ajat (1), pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar, Maklumat Wakil Presiden tanggal 10 Oktober 1945 No. X. dan Undang undang No. 22 tahun 1948;

Dengan persetudjuan Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat.

M e m u t u s k a n :

Menetapkan pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta dengan peraturan sebagai berikut:


UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN

DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA.

Bab I.

PERATURAN UMUM.

P a s a l 1.

(1) Daerah jang meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta.

(2) Daerah Istimewa Jogjakarta adalah setingkat dengan Propinsi.


P a s a l 2.

(1) Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta berkedudukan di Kota Jogjakarta.

(2) Dalam waktu luar biasa kedudukan itu untuk sementara waktu oleh Presiden dapat dipindahkan kelain tempat.


P a s a l 3.

(1) Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Istimewa Jogjakarta terdiri dari 40 orang anggauta.

(2) Djumlah anggota Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta, kecuali anggauta – Kepala Daerah dan anggauta - Wakil Kepala Daerah, adalah 5 orang.


Bab II.

TENTANG URUSAN RUMAH TANGGA DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA.

P a s a l 4.

(1) Urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain sebagai termaksud dalam pasal 23 dan 24 Undang-undang No. 22 tahun 1948 bagi Daerah Istimewa Jogjakarta adalah sebagai berikut:

I. Urusan Umum.

II. Urusan Pemerintahan Umum.

III. Urusan agraria.

IV. Urusan pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung.

V. Urusan pertanian dan perikanan.

VI. Urusan kehewanan.

VII. Urusan keradjinan, perdagangan dalam Negeri perindustrian dan koperasi.

VIII. Urusan perburuhan dan sosial.

IX. Urusan pengumpulan bahan makanan dan pembagianja.

X. Urusan penerangan.

XI. Urusan pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan

XII. Urusan kesehatan.

XIII. Urusan perusahaan.

(2) Urusan-urusan tersebut dalam ajat (1) diatas didjelaskan dalam daftar terlampir ini (lampiran A) dan dalam peraturan-peraturan peleksanaan pada waktu penjerahan.

(3) Dengan Undang-undang tiap-tiap waktu, dengan mengingat keadaan urusan rumah tangga Daerah Istimewa Jogjakarta dan kewadjiban Pemerintah jang diserahkan kepada Daerah Istimewa Jogjakarta di tambah.

(4) Urusan-urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain dari pada jang tersebut dalam ajat (1) diatas, jang dikerdjakan oleh Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuk menurut Undang-undang ini, dilandjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan Undang-undang.


P a s a l 5

(1) Segala milik baik berupa barang tetap maupun berupa tidak tetap dan perusahaan-perusahaan Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuknja Undang-undang ini mendjadi milik Daerah Istimewa Jogjakarta, jang selanjutnja dapat menjerahkan sesuatunja kepada daerah-daerah dibawahnja.

(2) Segala hutang piutang Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum pembentukan menurut Undang-undang ini, mendjadi tanggungan Daerah Istimewa Jogjakarta.


P a s a l 6.

Peraturan-peraturan Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum pembentukan menurut Undang-undang ini, belum diganti dengan Peraturan Daerah Istimewa Jogjakarta berlaku terus sebagai peraturan Daerah Istimewa Jogjakarta; Peraturan-peraturan tersebut tidak akan berlaku lagi, sesudah 5 tahun terhitung dari berdirinja Daerah Istimewa Jogjakarta menurut Undang-undang ini.


Bab III.

PERATURAN PENUTUP.

P a s a l 7.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari jang akan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah.


Agar Undang-undang ini diketahui umum, maka diperintahkan supaja diundangkan dalam Berita Negara.


Ditetapkan di Jogjakarta,

pada tanggal 3 Maret 1950


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

(PEMANGKU DJABATAN)

ASSAAT


MENTERI DALAM NEGERI

SOESANTO TIRTOPRODJO


Diundangkan pada tanggal 4 Maret 1950

MENTERI KEHAKIMAN

A.G. PRINGGODIGDO

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1950 NOMOR 3

Lampiran Undang-Undang

LAMPIRAN

UNDANG–UNDANG No. 3 TAHUN 1950

TENTANG

PEMBENTUKAN DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA MENURUT PASAL 4 AJAT (2)


Lampiran A

I. Urusan Umum (tata Usaha), jang meliputi:

1. pekerdjaan persiapan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah sendiri;

2. persiapan rentjana anggaran pendapatan dan belandja, perhitungan anggaran pendapatan dan belandja dan hal-hal lain jang mengenai anggaran pendapatan dan belandja;

3. pekerdjaan keuangan sendiri;

4. Urusan pegawai;

5. Arsip dan ekspedisi;

6. penjelidikan anggaran pendapatan dan belandja dan perhitungan anggaran pendapatan dan belandja Kabupaten dan Kota-Besar, untuk disahkan;

7. pengawasan keuangan Kabupaten dan Kota Besar.


II. Urusan Pemerintahan Umum, meliputi:

1. pengawasan djalanja peraturan daerah Istimewa Jogjakarta;

2. Pimpinan dan pengawasan pekerdjaan daerah-daerah autonom dibawahnja;

3. perlaksanaan, penetapan atau perubahan batas-batas daerah dibawahnja;

4. urusan minoriteit dan bangsa asing (medebewind);

5. pekerdjaan rupa-rupa jang tidak termasuk pada salah suatu kewadjiban bagian urusan lain.


III. Urusan Agraria (tanah), meliputi:

1. penerimaan pejerahan hak ,,eigendom” atas tanah ,,eigendom” kepada negeri (medebewind);

2. penjerahan tanah Negara (beheersoverdracht) kepada djawatan-djawatan atau Kementerian lain atau kepada daerah autonom (medebewind);

3. pemberian idzin membalik nama hak ,,eigendom” dan [,,]opstal” atas tanah, djika salah satu fihak atau keduanja masuk golongan bangsa asing (medebewind);

4. pengawasan pekerdjaan daerah autonom dibawahnja (sebagian ada jang medebewind).


IV. Urusan Pengairan, Djalan-djalan dan Gedung-gedung, meliputi:

1. kekuasaan atas perairan umum ialah sungai-sungai, sumber-sumber, danau-danau dan selokan-selokan air temasuk tanah-tanah bantarannja, tepi-tepi dan tanggulnja beserta bangun-bangunan milik Pemerintah jang ada diatas atau ditepi perairan itu jang dipergunakan untuk pengangkutan, pembangunan atau penahan air jang diserahkan oleh Pemerintah kepada Daerah Istimewa Jogjakarta;

2. kekuasaan atas pemakaian dari perairan umum untuk pertanian dan lain-lain kepentingan daerah dan Negara jang diserahkan oleh pemerintah kepada Daerah Istimewa Jogjakarta;

3. kekuasaan atas djalan-djalan termasuk tanah-tanah, bangunan-bangunan dan pohon-pohon dalam lingkunganja jang diserahkan oleh Pemerintah kepada Daerah Istimewa Jogjakarta;

4. kekuasaan atas gedung-gedung Negeri jang diserahkan oleh Pemerintah kepada Daerah Istimewa Jogjakarta;

5. penjerahan tersebut dalam angka 1 hingga 4 diatas ada jang termasuk medebewind.


V. Urusan pertanian dan perikanan, meliputi:

Pertanian.

1. inspeksi, dan merentjanakan hal-hal jang dapat menghidupkan djiwa tani modern dan menambah dinamisering masjarakat tani;

2. penjelenggaraan koordinasi pada lapangan teknik (medebewind);

3. penjelenggaraan kebun buat penjelidikan buah-buahan, sajuran, obat-obatan dan tanaman pedagangan;

4. pimpinan pemberantasan hama, jang meluas lebih dari satu Kabupaten;

5. pusat propaganda pertanian.

Perikanan.

1. inspeksi ke daerah-daerah dibawahnja (medebewind);

2. penjelidikan dan pengumpulan bahan-bahan untuk memperbaiki mempertinggi deradjat perikanan darat, membantu pekerdjaan Kementerian (medebewind).


VI. Urusan kehewanan, meliputi:

1. inspeksi kedaerah-daerah dibawahnja, mengerdjakan pemberantasan dan pentjegahan penjakit menular, ketjuali karantine dan laboratorium (medebewind);

2. koordinasi pemberantasan penjakit jang tidak menular didaerah-daerah dibawahnja;

3. pengawasan terhadap veterinaire hygiene jang mengenai daging dan susu;

4. pemeriksaan tiap-tiap waktu atas chewan pengangkutan;

5. pengawasan terhadap penganiajaan chewan;

6. pengawasan pemeliharaan babi;

7. penjelenggaraan peraturan perdagangan chewan dalam negeri diluar Daerah Istimewa Jogjakarta dan koordineeren perdagangan chewan seluruh daerah Istimewa Jogjakarta;

8. penjelenggaraan fokstation, koordinasi dan pengawasan peternakan di daerah dibawahnja, pemberantasan potongan gelap.


VII.U[r]usan Keradjinan, Perdagangan Dalam Negeri, Perindustrian, dan Koperasi, meliputi bagian-bagian jang akan ditetapkan pada waktu penjerahannja.

VIII.Urusan perburuhan dan Sosial, meliputi,

Perburuhan.

1. penerimaan-penerimaan keterangan-keterangan (gegevens) tentang pengangguran dari daerah-daerah dibawahnja jang diteruskan kepada Kementerian Perburuhan dan Sosial (medebewind);

2. segala sesuatu mengenai statistik pengangguran pada waktu jang tertentu dilaporkan kepada Kementerian tersebut (medebewind);

3. urusan jang mengenai permintaan pekerdjaan baik jang langsung diterima dari madjikan maupun jang diterima dengan perantaraan daerah-daerah dibawahnja, dengan menghubungkan madjikan itu dengan penganggur-penganggur dari daerah-daerah tersebut;

4. sokongan pengangguran;

5. pekerdjaan relief.


IX. Urusan Pengumpulan Bahan Makanan dan Pembagiannja, meliputi:

1. penetapan djumlah dan djenis bahan makanan jang harus dikumpulkan ditiap-tiap Kabupaten (Kota Besar);

2. mengadakan peraturan tentang tjara pengumpulan dan pembagian didaerah;

3. menetapkan harga pembelian padi dan bahan-bahan makanan lain;

4. penetapan besarnja uang honorarium komisi untuk pengumpulan dan

5. penetapan percentage kenaikan harga pendjualan barang2 distributie untuk mengganti biaja (1 hingga 5 medebewind).


X. Urusan Penerangan, meliputi:

1. membantu Kementerian Penerangan akan lantjarnja penerangan umum;

2. menjelenggarakan penerangan local.


XI. Urusan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudajaan, meliputi:

1. inspeksi, pengawasan-pengawasan terhadap sekolah-sekolah rendah (medebewind);

2. pendirian penjelenggaraan kursus-kursus pengetahuan umum jang bertingkat tertinggi (tingkatan C) di Kota-kota besar serta pendirian dan penjelenggaraan perpustakaan Rakjat dikota-kota tersebut;

3. memimpin dan memadjukan kesenian daerah;


XII. Urusan Kesehatan, meliputi:

1. pendidikan tentang teknik menengah/rendah;

2. pekerdjaan curatief, menjelenggarakan rumah-rumah sakit pusat dan umum, pengawasan atas rumah-rumah sakit partikelir;

3. pekerdjaan preventief; urusan transmigrasi dalam daerah Istimewa Jogjakarta;

4. memimpin, mengawasi dan mengkoordineer djawatan-djawatan kesehatan daerah dibawahnja.


XIII. Urusan Perusahaan, meliputi:

perusahaan-perusahaan jang dapat selenggarakan oleh Daerah Istimewa Jogjakarta menurut kebutuhan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1950 NOMOR 3

Referensi

Kumpulan Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Koleksi Badan Perpustakaan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Catatan

Naskah UU terdapat pada Berita Negara halaman 1-4 Lampiran UU terdapat pada Berita Negara halaman 5-8